
Warga Jogja Ceritakan keunikan dan Sejarah Plengkung Gading Yogyakarta
Kraton, (jogja.sorot.co)--Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu wilayah yang kaya akan destinasi wisata menarik. Banyak wisatawan nasional bahkan mancanegara menjadikan kota ini sebagai tujuan wisata, baik untuk melihat situs bersejarah, wisata alam, maupun wisata edukasi.
Ada salah satu tempat di Yogyakarta yang terbilang unik, yakni sebuah bangunan gapura besar seperti terowongan. Bukan hanya sekedar gapura biasa, bangunan itu bernama plengkung Nirbaya atau populer dengan sebutan plengkung gading.
Lokasinya ada di Jalan Patehan Kidul, Kecamatan Kraton. Terletak di sebelah selatan Yogyakarta, jaraknya kurang lebih 300 meter dari Alun-Alun Kidul atau Alun-Alun Selatan Keraton Yogyakarta.
Sepanjang hari, plengkung nirbaya ramai dilewati kendaraan dan orang-orang yang sengaja ingin menikmati suasana di sekitaran plengkung gading. Plengkung gading merupakan gerbang menuju area kraton Yogyakarta. Makna dari kata nirbaya pada bangunan ini yakni bebas dari bahaya duniawi.
Selain Plengkung Nirbaya, sebenarnya masih ada empat plengkung lain di sekitar wilayah kraton, yakni Plengkung Tarunasura, Plengkung Madyasura, Plengkung Jagasurya, dan Plengkung Jagabaya.
Bangunan Plengkung Nirbaya merupakan gerbang sakral yang merupakan peninggalan budaya milik Kraton Ngayogyokarto Hadiningrat dan menjadi salah satu ikon kota Yogyakarta. Kraton pun menjadi tempat istimewa karena merupakan istana Sri Sultan Hamengkubuwono X, Raja Ngayogyokarto Hadiningrat sekaligus Gubernur Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Pada zaman dahulu, plengkung menjadi gerbang utama untuk masuk dan keluar dari kraton. Kelima plengkung yang disebutkan di atas mengelilingi kawasan kraton dari berbagai sisi. Plengkung Tarunasura di sisi utara, Plengkung Madyasura di sisi timur, Plengkung Jagabaya di sisi barat daya, Plengkung Jagasura di sisi barat, dan Plengkung Nirbaya jadi gerbang di sisi selatan.
Menurut Suroyo penjual angkringan yang ada di dekat Plengkung Nirbabaya, bila disimak baik-baik, bisa terlihat bagian atas Plengkung Nirbaya ada ukiran burung yang sedang mengisap sari bunga yang dalam bahasa Jawa disebut lajering sekar sinesep peksi.
Lajering itu artinya satu, sekar berarti angka sembilan, sinesep artinya enam, dan peksi adalah angka satu. Deretan angka itu artinya menunjukkan waktu gapura ini dipugar terakhir kali, yaitu tahun 1961,” ujar Suroyo, Sabtu (24/07/2021).
Jika mengunjungi plengkung ini, pengunjung pun bisa melihat ada sebuah menara sirine. Menara tersebut masih digunakan. Tapi menurut Suroyo sirine tersebut unik, karena hanya dipakai pada dua momen saja, yakni setiap tanggal 17 Agustus untuk memperingati momen kemerdekaan dan waktu menjelang buka puasa pada bulan Ramadan. 
Menurut Suroyo, Plengkung Nirbaya merupakan satu-satunya Plengkung atau gapura atau pintu keluar bagi raja yang telah meninggal dunia, sebelum akhirnya disemayamkan di Makam Raja-Raja di Imogiri.
Sejak masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono I, Plengkung Nirbaya tidak boleh dilewati oleh sultan yang masih hidup. yang bisa melewati gapura ini hanyalah sultan yang telah wafat atau jenazah sultan yang akan dimakamkan di Imogiri,” tambahnya.
Namun, aturan itu berlaku terbalik bagi masyarakat umum. Ketika ada warga yang meninggal dunia, ia sama sekali tidak boleh melewati Plengkung Nirbaya.
Walaupun lebih dekat dengan menggunakan Plengkung Gading, jenazah warga biasa tetap harus mencari jalan keluar yang lain,” imbuhnya.