
Pantomim Perdagangan Manusia di Titik Nol, Kasus Perdagangan Orang Jadi Sorotan
Gondomanan,(jogja.sorot.co)--Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengadakan peringatan Hari Anti Perdagangan Manusia se-Dunia Tahun 2022. Acara tersebut dipusatkan di kawasan Titik Nol Kota Yogyakarta, Minggu (31/7).
Acara kampanye yang bertema, 'One Step Against Human Trafficking' itu diwarnai dengan aksi longmarch, pantomim, tari, musik dan orasi yang akan disampaikan Ketua LPSK. Dalam orasinya, Ketua LPSK menyoroti tindak pidana perdagangan orang (TPPO) sebanyak 147 permohonan.
"TPPO tertinggi pada kasus pekerja migran Indonesia (PMI non-prosedural) dengan 71 permohonan dengan negara tujuan seperti Irak, Suriah, dan Turki. Kemudian disusul kasus eksploitasi seksual sebanyak 51 permohonan yang sebagian besar korban dipekerjakan di tempat hiburan dan kasus-kasus TPPO terkait pekerja domestik dalam negeri, pengantin pesanan dan anak buah kapal," kata Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo saat ditemui di sela-sela acara.
Kondisi tersebut, lanjut dia, disebabkan maraknya kasus perdagangan anak dan perempuan di masa pandemi. Anak menjadi korban eksploitasi pada sektor pekerja hiburan dan pekerja seks komersial. Biasanya, korban tergiur iming-iming uang dan pekerjaan formal. 
Menurut Hasto, perempuan dan anak rentan menjadi korban perdagangan manusia dengan tujuan eksploitasi seksual dan eksploitasi tenaga kerja. Jasa hiburan menempati urutan tertinggi. Eksploitasi seksual meliputi prostitusi, pornografi, layanan seksual di bar dan hotel, panti pijat, serta bisnis hiburan lainnya.
"Perkembangan teknologi informasi dan media sosial turut berperan penting dalam proses perekrutan sebagai sarana eksploitasi korban. Banyak korban direkrut melalui media sosial dan aplikasi online lainnya," tambahnya.
Hasto menambahkan, permohonan perlindungan pada kasus TPPO tahun 2021 berasal dari 15 provinsi dengan sebaran di 47 kabupaten/kota. Asal pemohon perlindungan TPPO di tingkat provinsi terbanyak berasal dari Jawa Barat (60 permohonan), Nusa Tenggara Barat (27 permohonan), Jawa Timur (10 permohonan), Jawa Tengah dan Lampung (7 permohonan), NTT dan Sulawesi Selatan (3 permohonan) serta daerah lainnya.
Wakil Ketua LPSK Antonius PS Wibowo menambahkan, program perlindungan LPSK pada TPPO terbagi atas 450 program layanan. Dari 10 jenis program perlindungan yang menjadi hak saksi dan/atau korban TPPO, terdapat tujuh program perlindungan yang dimanfaatkan, meliputi pemenuhan hak prosedural (219 terlindung), restitusi (177 terlindung), bantuan hidup sementara (16 terlindung), dan rehabilitasi psikologis (15 terlindung).
Terkait program restitusi, menurut Antonius, hal ini terkait meningkatnya pemahaman publik tentang kewenangan LPSK dalam memfasilitasi perhitungan restitusi dan pemahaman aparat penegak hukum (APH) terkait pemenuhan hak korban atas restitusi yang diatur dalam UU No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan TPPO.
"Fasilitasi penghitungan restitusi korban TPPO dilakukan LPSK sejak proses hukum berlangsung, baik di tingkat penyelidikan, penyidikan, penuntutan, atau saat pemeriksaan perkara di persidangan," ucapnya.
Antonius merinci, tahun 2021, LPSK telah melakukan penghitungan restitusi bagi korban TPPO sebesar Rp5.039.474.662. Dari total penghitungan itu, yang masuk dalam tuntutan Jaksa Penuntut Umum sebesar Rp4.831.051.362, dan yang dikabulkan hakim dalam putusannya sebesar Rp3.262.457.339. Dari total nilai restitusi yang dikabulkan hakim, hanya Rp230.000.000 yang dibayarkan oleh pelaku.
Sehingga, lanjut Antonius, tantangan yang dihadapi LPSK dalam penanganan perkara TPPO, antara lain jenis kejahatan ini terorganisir lintas negara. Masih sedikit pengungkapan kasus yang berhasil menjerat jaringan pelaku yang melibatkan warga negara asing atau korporasi. Misalnya, modus operandi perdagangan orang di sektor ART di luar negeri, ABK dan pengantin pesanan. Pengungkapan perkara belum maksimal menjangkau pelaku jaringan luar negeri dan korporasi.
Tantangan lain, ujar dia, korban TPPO kurang menyadari bahwa dirinya adalah korban tindak pidana. Rata-rata korban perdagangan anak berasal dari keluarga kurang mampu secara ekonomi dan berusia anak. Bahkan tidak jarang terdapat korban kembali bekerja di sektor pekerjaan (jasa hiburan) di tempat semula.
Selanjutnya, persoalan regulasi dan petunjuk teknis yang berkaitan dengan restitusi untuk korban TPPO. Misalnya, ketentuan tentang ukuran serta mekanisme penetapan pelaku/terdakwa tidak mampu membayar restitusi Pasal 50 (4) UU No. 21/2007. Umumnya sebagian besar pelaku/terpidana lebih memilih menjalankan pidana kurungan pengganti restitusi dibandingkan membayar restitusi.